Jumat, 13 September 2013


UU nomor 22 Tahun 1999 dan UU NO 25 Tahun 1999 yang telah disempurnakan dengan UU Nomor
32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 telah mengubah hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah. Dua undang-undang ini digunakan sebagai dasar hukum proses desentralisasi di Indonesia
dengan memberikan peranan yang sangat penting kepada pemerintah lokal (kabupaten/kota). Sejak
kedua peraturan tersebut diundangkan pemerintah Indonesia telah berubah secara dratis dari
pemerintah yang tersentralisasi menjadi pemerintah yang sangat terdesentralisasi. Berkah otonomi
dirasakan mulai dari provinsi, kabupaten/kota sampai ke desa.
Seiring dengan berlakunya otonomi daerah telah terjadi reformasi dibidang keuangan negara. Tanggal 5
April 2003 menjadi tonggak sejarah pengelolaan keuangan negara di Indonesia. Pada tanggal tersebut
pemerintah Indonesia telah mengundangkan sebuah Undang-Undang fenomenal yaitu Undang-Undang
NO 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang dan
peraturan-peraturan produk kolonial Hindia Belanda yaitu ; 1). Indische Comptabiliteitswet(ICW),
Staatsblad Tahun 1925 NO. 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang NO. 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara . Nomor 2860I ; 2) Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 NO, 419 jo. Stbl. 1936
NO. 445 ; 3) Reglement voor he Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381. Beberapa bulan
kemudian dua paket undang-undang lainnya, yang merupakan bagian dari 3 paket undang-undang di
bidang keuangan negara yang telah lama disiapkan, diundangkan oleh pemerintah yaitu Undang-
Undang NO 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Melalui ketiga undang-undang tersebut, paling tidak pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan pemerintah selama ini yaitu :
kelemahan di bidang perencanaan dan pengganggaran, kelemahan di bidang perbendaharaan, dan
kelemahan di bidang pemeriksaan/audit (Andie Megantara, dkk, LPKPAP-BPPK, Departemen
Keuangan RI, 2006).
Lebih lanjut pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri NO. 37 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Permendagri tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam
pelaksanaan pengelolaan keuangan desa, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
Dengan demikian desa dapat mewujudkan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien. Disamping
itu diharapkan dapat diwujudkan tata kelola pemerintahan desa yang baik, yang memiliki tiga pilar
utama yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Oleh karenanya, proses dan mekanisme
penyusunan APBDesa yang diatur dalam Permendagri tersebut akan menjelaskan siapa yang
bertanggungjawab, dan kepada siapa bertanggungjawab, dan bagaimana cara pertanggungjawabannya.
Untuk itu perlu ditetapkan pedoman umum tata cara pelaporan dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintah desa, yang dimuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun
2007.
Untuk memberikan pedoman bagi pemerintah desa dalam menyusun RPJM-Desa dan RKP-Desa perlu
dilakukan pengaturan. Dengan itu maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri NO. 66 Tahun
2007 tentang Perencanaan Desa. Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses
penyusunan APBDesa semaksimal mungking dapat menunjukkan latar belakang pengambilan
keputusan dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi
sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut timbul pertanyaan : Apakah pengelolaan keuangan desa dalam
Permendagri NO. 37 Tahun 2007 telah sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang NO. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang NO 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan
Negara ; Apakah pedoman umum tata cara pelaporan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan
pemerintah desa dalam Permendagri NO. 35 Tahun 2007 telah sejalan dengan Undang-Undang NO 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara ; Apakah
Peraturan Menteri Dalam Negeri NO. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa telah
sejalan dengan Undang-Undang NO. 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional; Apakah Peraturan Menteri Dalam Negeri NO 13 Tahun 2006 (revisi NO. 59 Tahun 2007)
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, telah sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
NO. 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa; Apakah pelaporan keuangan desa,
telah sejalan dengan Peraturan Pemerintah NO. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah;
Apakah terdapat kesesuaian utuh antara Permendagri NO. 37 Tahun 2007 dengan Permendagri NO. 66
Tahun 2007.


Dalam PP 72 Tahun 2005, dinyatakan alokasi dana desa (ADD) adalah dana yang dialokasikan oleh
pemerintah kabupaten/kota untuk des, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota. Menurut Pasal 19 Permendagri NO. 37 Tahun 2007,
besarnya paling sedikit 10 % . Tujuan Alokasi Dana Desa adalah :
A.  Menanggulangi kemiskinan dan
mengurangi kesenjangan.
B.  Meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat
desa dan pemberdayaan masyarakat.
C. Meningkatkan pembangunan infrastuktur perdesaan.
 D, Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan
peningkatan sosial
E.  Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat
F.  Meningkatkan
pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat
G. Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat
H. Meningkatkanpendapatan desa dan masyarakat desa melalui badan usaha milik desa (BUMDesa).
Pengelolaan alokasi dana desa merupakan satu kesatuan dengan pengelolaan keuangan desa. Rumus
yang digunakan dalam alokasi dana desa adalah
A. Azas merata adalah besarnya bagian alokasi dana
desa yang sama untuk tiap desa, yang selanjutnya disebut alokasi dana desa minimal (ADDM)
B. Azas adil adalah besarnya bagian alokasi dana desa berdasarkan nilai bobot desa (BDx) yang dihitung
dengan rumus dan variabel tertentu, (misalnya kemiskinan, keterjangkauan, pendidikan dasar,
kesehatan dll), selanjutnya disebut alokasi dana desa proposional (ADDP).
Besarnya persentase perbandingan antara azas merata dan adil adalah besarnya ADDM adalah 60 %
dari jumlah ADD dan ADDP adalah 40 % dari jumlah ADD. Alokasi dana desa dalam APBDkabupaten/kota dianggarkan pada bagian pemerintahan desa. Pemerintahan desa membuka rekening pada bank yang ditunjuk berdasarkan keputusan kepala desa. Kepala desa mengajukan permohonan penyaluran alokasi dana desa kepada Bupati c.q kepala bagian pemerintah desa sekda kabupaten melalui camat setelah dilakukan verifikasi oleh tim pendamping kecamatan. Bagian pemerintah desa
pada sekda kabupaten akan meneruskan berkas permohonan berikut lampirannya kepada kepala bagian keuangan setda kabupaten atau kepala badan pengelolaan keuangan daerah (BPKD) atau kepala badan pengelola keuangan dan kekayaan/Aset daerah (BPKK/AD). Kepala bagian keuangan Setda atau Kepala BPKD atau Kepala BPKK/AD akan menyalurkan ADD langsung dari kas daerah ke rekening desa.
Mekanisme pencairan ADD dalam APBDesa dilakukan secara bertahap atau disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang pembiayaannya bersumber dari ADD APBDesa sepenuhnya dilaksanakan oleh tim pelaksana desa dengan mengacu pada peraturan Bupati/Walikota. Penggunaan ADD adalah sebesar 30 % untuk belanja aparatur dan operasional pemerintah desa, sebesar 70 % untuk biaya pemberdayaan masyarakat. Bagi belanja pemberdayaan masyarakat digunakan untuk : Biaya
perbaikan sarana publik dalam skala kecil, penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDesa,
biaya untuk pengadaan ketahanan pangan, perbaikan lingkungan dan pemukiman, teknologi tepat guna,
perbaikan kesehatan dan pendidikan, pengembangan sosial budaya, dan sebagainya yang dianggap
penting.